Iklan Header

    Gerakan 3a yang dibentuk pada tahun 1943 hasilnya sangat mengecewakan. Awalnya masyarakat Indonesia menaruh harapan besar terhadap Gerakan 3A ini. Namun, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Balatentara Jepang tidak membuat masyarakat senang, bahkan cenderung tidak sepaham dengan masyarakat Indoensia. Berikut ini penjelasannya.


    gerakan-3a

    Latar Belakang Pembentukan 3A

    Gerakan 3A merupakan organisasi buatan Jepang untuk mengimbangi organisasi lainnya yang sudah terlebih dahulu ada, yaitu Shumubu.


    Shumubu sendiri adalah salah satu dari 8 departemen dalam membantu Gunseikan, pembahasan tersebut sudah saya tulis pada postingan saya sebelumnya tentang Struktur Pemerintahan Jepang.


    Shumubu adalah Departemen Urusan Agama, yang dibuat pada bulan Maret 1942. Ketua dari Shumubu adalah Kolonel Horie yang didampingi Dr. Karim Amroelllah sebagai penasehatnya, setelah Dr. Karim Amroellah dibebaskan dari pengasingan di Sukabumi.


    Keputusan Balatentara Jepang, dengan menunjuk Dr. Karim Amroellah ternyata mempengaruhi sikap politik dari Buya Hamka. Buya Hamka percaya bahwa Balatentara Jepang berpihak pada perjuangan umat Islam. Sehingga beliau dalam dakwahnya, sempat menganjurkan umat Islam di Indonesia untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya bersama Jepang.


    Pada awalnya, Shumubu digunakan untuk media pembinaan Ulama desa dengan dipimpin langsung oleh Kolonel Horie. Namun, kepemimpinannya gagal sebab Kolonel Horie tidak dikenal oleh umat Islam.


    Setelah itu, Kolonel Horie mengangkat Dr. Husein Djajadiningrat sebagai penggantinya menjadi ketua Shumubu pada Oktober 1943. Ditunjuknya Dr. Husein sebagai priyayi yang pernah bekerja sebagai Asisten Penasehat Masalah Pribumi untuk pemerintahan Kolonial Belanda.


    Mengapa bukan Ulama besar lainnya yang punya pengikut yang banyak? Tentu karena Jepang merasa Ulama besar dengan massa yang banyak, akan menjadi ancaman tersendiri bagi Kolonialisasi Jepang.


    Tentu, penunjukan Dr. Husein juga gagal sebab tidak banyak rakyat yang mengikutinya. Setelah itu, ditunjuklah K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Ketua Shumubu yang memiliki pengikut yang banyak, dalam praktiknya dikuasai oleh anaknya, Wahid Hasyim.


    Sikap Choedratoes Sjeich Rois Akbar K.H. Hasyim Asy'ari sebenarnya adalah melakukan perlawanan tanpa kekerasa dengan menampakkan tidak mau bekerjasama terhadap Jepang dalam pemenangan Perang Asia Timur Raya. Beliau meminta bantuan kepada Ulama dan umat Islam.


    Dengan adanya Shumubu, maka Balatentara Jepang merasa perlu mengimbangi peran ulama tersebut, dengan membentuk organisasi tandingan, yaitu Gerakan Tiga A.



    Pembentukan Gerakan Tiga A dan Hasil Mengecewakan

    Organisasi pengimbang Shumubu yaitu Tiga A, bermakna Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia.


    Gerakan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan "Deutschlsnd uber alles"-nya Jerman. Yang berarti Jerman di atas segalanya. Sehingga Jepang juga membuat gerakan 3A dengan menklaim bahwa dirinya paling atas diantara seluruh ras bangsa Asia.


    Gerakan 3A dipimpin oleh Shimizu bersama Samsoedin dari Parindra. Kepemimpinan ini tidak bisa memobilisasi potensi umat Islam. Sebab, Samsoedin tidak mewakili kalangan umat Islam sebagai mayoritas rakyat Indonesia. Apalagi Parindra dikenal sebagai partai sekuler dan anti Islam.


    Sehingga gerakan 3a yang dibentuk pada tahun 1943 hasilnya sangat mengecewakan hal ini disebabkan oleh gerakan 3A tidak dapat menarik simpati rakyat. Terutama umat Islam yang memandang ketua 3A, Samsoedin dari Parindra yang anti Islam.


    Mengapa pemimpin 3A ditunjuk Samsoedin dari Parindra? Ya, jelas karena Balatentara Jepang ingin memobilisasi organisasi tersebut yang dipegang oleh orang sekuler dan anti Islam.


    Gerakan 3A ini memunculkan organisasi baru di kalangan umat Islam dengan dibentuknya PPUI (Persiapan Persatuan Umat Islam) dipimpin oleh Abikoesno Tjokrosoejoso ketua dari PSII (Partai Serikat Islam Indonesia). Organisasi PPUI ini tidak bisa bergerak bebas, karena memang diawasi langsung oleh Shimitzu dan Samsoedin.



    Pendekatan Jepang terhadap Ulama

    Selama Maret 1942 hingga Mei 1943, banyak wilayah-wilayah kekuasaan Jepang yang direbut oleh Sekutu, terutama di kawasan Pasifik. Kondisi tersebutlah yang mengubah kebijakan Jepang yang mencoba mendekat kepada para Ulama yang berpengaruh besar terhadap rakyat Indonesia.


    Pada tanggal 4 September 1942, Gunseikan Mayor Jenderal Shinsichiro Kokubu, melalui Tiga A, untuk pertama kalinya mengadakan pertemuan dengan Ulama dan mantan pimpinan partai politik Islam di Hotel des Indes di Jakarta.


    Dalam pertemuan tersebut, Balatentara Jepang mengizinkan menghidupkan kembali Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), diketuai oleh W. Wondoamiseno. Dengan pendirian kembali MIAI, maka secara tidak langsung aktivitas dari beberapa organisasi pendiri MIAI juga diperlonggar. Organisasi pendiri yang aktivitasnya diperlonggar seperti Perserikatan Muhammadiyah, Nadlatul Ulama, Persatuan Islam dan Al-Irsyad, serta organisasi Pendukung lainnya, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Indonesia (PII).


    Setelah itu, upaya Jepang mendekati Ulama tidak hanya itu saja, tanggal 7 Desember 1942 di Jakarta, Balatentara Jepang mengadakan pertemuan dengan 32 Ulama perwakilan dari Pulau Jawa. Bahkan mengundang Para Ulama untuk masuk ke istana. Makna "Penghormatan" tersebut dilakukan dengan harapan para Ulama bisa merasakan pentingnya Jepang sebagai "Saudara Tua" yang membebaskan umat Islam dari penindasan penjajahan pemerintahan Kristen.


    Selain itu, ada juga pertemuan Balatentara Jepang dengan 59 Ulama dari seluruh Jawa di Bandung, 1943. Namun, dalam pertemuan tersebut terjadi insiden berupa penolakan dari Dr. Abdul Karim Amrullah menolak melakukan seikerei, yaitu penghormatan kepada Tenno Heika ke arah Tokyo. Seikerei tersebut adalah simbol penyembahan terhadap Tenno Heika yang diyakini dalam ajaran Shinto sebagai Anak Dewa Matahari. Jelas ini bertentangan dengan ajaran Islam.


    Ternyata, upaya Jepang dalam menghidupkan kembali MIAI, juga beberapa kali pertemuan Jepang dengan para Ulama membuat iri hati para mantan pimpinan organisasi non religi. Hal tersebut terjadi sebagai dampak dari sikap pimpinan Gerindo, Sartono, A.K. Gani, Amir Syarifudin dan pimpinan Parindra, serta Partai Kristen dan Katolik, yang anti Jepang dan menyarankan rakyat agar tetap setia terhadap kolonial Belanda.



    Pembentukan Putera

    Dalam penguasaan Indonesia, Jepang tidak jauh berbeda dengan kolonial Belanda dengan melakukan divide and rule antara Shumubu (Kantor Urusan Agama) dengan Persiapan Persatuan Umat Islam (PPOI) dan Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). Selain itu, juga diberlakukan politik devide at impera, dibangunlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera), 8 Maret 1943. Enam bulan setelah MIAI didirikan kembali. Tujuan Putera untuk mengimbangi dan mengawasi Ulama dan umat Islam.


    Kepengurusan Putera dipimpin oleh Ir. Soekarno dari PNI, Moh. Hatta dari PNI Baru, Ki Hajar Dewantara dari Taman Siswa, dan K.H. Mas Mansur dari Perserikatan Muhammadiyah. Keempat pimpinan Putera ini disebut sebagai Empat Serangkai.


    K.H. Mas Mansur ditunjuk menjadi pimpinan Putera tentu bisa ditebak untuk mendapat simpati dari Ulama dan umat Islam. Tidak mungkin Putera sebagai organisasi non agama bisa memobilisasi umat Islam jika tidak ada tokoh Islam di dalamnya.


    Organisasi Putera memiliki umur pendek, Putera hanya diberi hak hidup dari 8 Maret 1943 sampai Januari 1944, 10 bulan saja. Hal tersebut dikarenakan dua dari pimpinannya, yaitu K.H. Mas Mansur dan Ki Hajar Dewantara tidak aktif dalam keanggotaan Putera.


    Upaya-upaya Jepang dalam rangka mempengaruhi Ulama dan umat Islam di Indonesia sangat banyak. Bahkan secara terbuka Sendenbu (Departemen Penerangan), berupaya meningkatkan kesadaran para Ulama terhadap bahaya penjajahan Barat atau penjajah Kristen : Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda. Namun, tidak pernah menampakkan bahwa sebenarnya Kekaisaran Shinto Jepang juga sebagai penjajah Timur atau Penjajah Shinto.


    Bahkan, Sendenbu dalam propagandanya, menyatakan setelah Kesultanan Turki ditumbangkan oleh Kemal Pasha, 1924 M, Kaisar Jepang akan masuk Islam dan Tokyo akan dijadikan pusat kekhalifahan Islam baru di Asia. Sendenbu telah menargetkan para Ulama dan uamt Islam demi kepentingan pemenangan Perang Asia Timur Raya.


    Sumber : Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah 2.



    Sistem Pemerintahan Jepang BPUPKI

    Post a Comment