Iklan Header

    Untuk memperketat penjagaan di desa-desa pemerintah jepang membentuk kesatuan desa yang kemudian hari disebut rumah tangga. Kalau sekarang istilah namanya "rumah tangga", dahulu istilahnya apa ya? Baca selengkapnya di bawah ini.


    rumah-tangga-buatan-jepang

    Pada prinsipnya, antara Penjajahan Barat dan Penjajahan Jepang memiliki kemiripan. Kemiripan tersebut berkaitan dengan gagasan untuk berlomba mencari daerah jajahan dengan memperkuat militer dan persenjatannya. Memang Negara Jepang sebagai murid dari negara-negara Imperialis Barat.


    Jika di Prancis ada slogan Revolusi Prancis fraternite = persaudaraan, equalite = persamaan dan liberte = kebebasan. Maka Jepang mencanangkan kemerdekaan sesama bangsa Asia, dengan istilah Saudara Tua. Hal tersebut sebaga terjemahan dari Deutschland uber alles = Jerman sebagai bangsa yang teratas di segenap bangsa-bangsa di dunia.


    Dari pemahaman tersebut, maka Jepang mengalihbahasakannya menjadi Saudara Tua. Hal tersebut memiliki pengertian bahwa Jepang sebagai bangsa yang lebih tua kedudukannya di seluruh ras dan etnis dari bangsa-bangsa Asia. Maka, Jepang sebagai Saudara Tua akan diterima sebagai pemimpin, pelindung dan cahaya yang menerangi jalan kehidupan bangsa-bangsa Asia. Bukankah dalam struktur keluarga di Asia, adik harus hormat dan taat kepada saudara yang lebih tua?


    Gerakan Nipponisasi di Indonesia

    Diawali dari Kapitulasi Kalidjati, yaitu Belanda menyerahkan Indonesia tanpa syarat yang diwakili oleh Djendral Ter Porten (Belanda) kepada Djendral Hitoshi Imamura (Jepang), pada tanggal 8 Maret 1942 atau 20 Safar 1361.


    Setelah itu, Jepang membangun imperialis-nya dengan nama gerakan Nipponisasi, mencoba mengubah kultur Asia menjadi kultur Jepang di segala bidang. Daerah penjajahan Jepang harus menghormati setiap tentara Jepang. Tidak boleh berambut panjang, harus gundul seperti tentara Jepang. Dilarang berbahasa Belanda atau Inggris, dengan diganti bahasa Jepang. Balatentara Dai Nippon tidak melarang bahasa Arab.


    Pembagian Kawasan Jepang di Indonesia

    Setelah Jepang berhasil memaksa Gubernur Jendral Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Protestan Belanda Jendral Ter Poorten, untuk menandatangani Kapitulasi Kalijati (8 Maret 1942/ 20 Safar 1361). Saat itu, Jepang membagi 2 daerah kekuasaan militer.


    Pulau Jawa dikuasai oleh Angkatan Darat Tentara ke-16 berpusat di Jakarta, dan Pulau Sumatra dikuasai oleh oleh Angkatan Darat Tentara ke-25 dengan pusatnya di Bukittinggi. Sedangkan Indonesia Timur termasuk Kalimantan dikuasai oleh Angkatan Laut Tentara ke-19 berpusat di Ujung Pandang atau Makassar. Kedua angkatan darat dan laut ini dibawah komando Jendral Terauchi yang berkedudukan di Dalat Saigon.


    Perlakuan Angkatan Darat Tentara ke-16 terhadap Ulama, pimpinan partai politik dan organiasi non religius sangat berbeda dengan tindakan Angkatan Laut Tentara ke-19 di Luar Jawa. Misalnya, Angkatan Laut di Kalimantan Barat sangat kasar menindas secara fiik terhadap keluarga Sultan dan cendikiawan serta rakyat pendukunya.


    Nipponisasi di Bidang Pemerintahan Indonesia

    Nipponisasi yang dilaksanakan Jepang terhadap daerah jajahannya, termasuk Indonesia juga merubah sistem pemerintahan. Pengaruh Jepang di Indonesia dikenalkan pembaruan istilah sistem pemerintahan, penjelasannya sebagai berikut.


    Gunseikan

    Gunseikan adalah jabatan pimpinan pemerintah pusat militer. Kepala Staf Tentara dengan fungsinya mengendalikan pemerintah militer. Pemerintahan tentara ke-16, dikenal dengan kode Osamu. Panglimanya disebut Gunseikan atau disebut juga sebagai Saiko Shikikan. Aktivitas pemerintah dilaksanakan oleh Gunseikan.


    Kedua pejabat pemerintah tersebut, mempunyai kewenangan membuat undang-undang dan peraturan. Jika peraturan dikeluarkan oleh Saiko Shikikan disebut Osamu Shirei. Apabila dikeluarkan oleh Gunseikan disebut Osamu Kanrei.


    Selama pendudukan Jepang di Indonesia terjadi 3 kali pergantian Saiko Shikikan, yaitu :

    1. Letnan Jendral Hitoshi Immamura, 8 Maret - November 1942.
    2. Letnan Jendral Kumashiki Harada, November 1942 - April 1945.
    3. Letnan Jendral Yasiuchi Nagano, April - September 1945.

    Begitu juga Gunseikan juga mengalami pergantian 3 kali, diantaranya :

    1. Mayor Jendral Sesaburo Okasaki, Maret - Mei 1942.
    2. Mayor Jendral Shinsichiro Kokubu, Mei 1942 - Mei 1943.
    3. Mayor Jendral Moichiro Yamamoto, November 1944 - September 1945.

    Dalam menjalankan pemerintahannya, Gunseikan dibantu oleh 8 departemen berikut :

    • Naimubu : Departemen Dalam Negeri
    • Sihoobu : Departemen Kehakiman
    • Keimubu : Departemen Kepolisian
    • Zaimubu : Departemen Keuangan
    • Sangyoobu : Departemen Perekonomian
    • Kootubu : Departemen Lalu Lintas
    • Sendenbu : Departemen Propaganda
    • Saiko Hoom : Mahkamah Agung
    • Saiko Kensatu : Kejaksaan Umum
    • Shumubu : Departemen Urusan Agama

    Pembagian Daerah Administrasi

    Berdasarkan Undang-Undang No. 27 dan 28, Pulau Jawa Madura dibagi atas 17 Syuu (Keresidenan) dan 2 buah Kooti (Daerah Istimewa : Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngajogjakarta Hadiningrat. Adapun ke-17 Syuu (Keresidenan) di Pulau Jawa antara lain :


    • Jawa Barat terjadi perubahan nama kota :
    • Bantam diganti menjadi Banten Syuu. Buitenzorg diganti menjadi Bogor Syuu. Batavia diganti dengan Jakarta Syuu atau Tookobetsu (Daerah Khusus Ibukota). Preanger diganti menjadi Priangan Syuu, dan Cheribon diganti menjadi Cirebon Syuu.


    • Jawa Tengah tanpa pergantian nama kota :
    • Semarang Syuu, Pekalongan Syuu, Banyumas Syuu, Pati Syuu, dan Kedu Syuu.


    • Jawa Timur tanpa pergantian nama kota :
    • Surabaya Syuu, Malang Syuu, Bojonegoro Syuu, Kediri Syuu, Besuki Syuu, Maddura Syuu, dan Madiun Syuu.


    Di Pulau Jawa diangkat Majelis Pembesar Syuu atau semacam Residen yang membawahi Kabupaten oleh :

    • Sicho Tookebetsu/ Gubernur DKI Jakarta : S. Tsukamoto
    • Syuuchokan/ Residen Priangan Jabar : K. Matsui
    • Syuuchokan/ Residen Bogor Jabar : K. Tamate
    • Syuuchokan/ Residen Banten Jabar : H. Watanabe
    • Syuuchokan/ Residen Pekalongan Jateng : T. Tokonami
    • Syuuchokan/ Residen Pati Jateng : M. Nakamura
    • Syuuchokan/ Residen Surabaya Jatim : M. Jasuoka
    • Syuuchokan/ Residen Malang Jatim : M. Tanaka
    • Syuuchokan/ Residen Kediri Jatim : E. Kihara
    • Syuuchokan/ Residen Madiun Jatim : M. Takemasa

    Jawa Timur dibagi menjadi 4 Syuuchokan dibandingkan Jawa Tengah yang hanya Syuuchokan, hal tersebut dikarenakan atas perhitungan serangan Sekutu yang lebih berpotensi datang dari arah Pasifik dan Australia, sehingga Jawa Timur lebih dekat dari padda Jawa Tengah.


    Sistem Pemerintahan Tidak Langsung

    Penjajahan Jepang di kawasan Indonesia sangatlah luas, sehingga Balatentara Jepang kekurangan sumber daya manusia. Maka, Jepang memanfaatkan dan melanjutkan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule system).


    Pemerintahan tidak langsung, menggunakan kembali para Bupati atau Regent dari kalangan Parindra, dengan memanfaatkan Teori Nicollo Machiavelli. Setelah diambil alih Jepang, para Bupati atau Regent (tangan kanan pemerintah kolonial Belanda) merasa bersalah dan ketakutan.


    Menurut Teori Nicollo Machiavelli agar memanfaatkan rasa bersalah dan takut mantan lawannya. Orang-orang yang merasa bersalah dan takut akan menjadi kawan yang setia, kalau dijadikan kawan. Oleh karena itu, para Bupati atau Regent diangkat menjadi pembantu pemerintah Balatentara Jepang.


    Sedangkan, di luar struktur pemerintahan, untuk memperketat penjagaan di desa-desa pemerintah jepang membentuk kesatuan desa yang kemudian hari disebut rumah tangga atau rukun tetangga. Kalau sekarang istilah namanya "rumah tangga" atau "rukun tetangga", sedangkan era penajajahan Jepang yakni Tonari Gumi.


    Previous Next

    Post a Comment